Wakidjan begitu terpesonanya dengan permainan piano Nadine.
Sambil bertepuk tangan, ia berteriak,
“Not a play! Not a play!”
Nadine bengong. “Not a play?”
“Yes… Not a play… Bukan main.”
Tukidjo yang menemani Wakidjan terperangah.
“Bukan main itu bukan not a play, Djan.”
“Your granny! (Mbahmu!). Humanly I have check my dictionary kok. (Orang saya sudah periksa di kamus kok)”
Lalu Wakidjan berpaling ke Nadine. “Lady, let’s corner (Mojok yuk). But don’t
think that are nots (Jangan berpikir yang bukan-bukan). I just want a
meal together.”
“Ngaco kamu, Djan,” Tukidjo tambah gemes.
“Don’t be surplus (Jangan berlebihan), Djo. Be wrong a little is OK toch?”
Nadine cuman senyum kecil. “I would love to, but …”
“Sorry if my friend make you not delicious (Maaf kalau teman saya bikin
kamu jadi nggak enak)”, sambut Wakidjan ramah, “Different river, maybe
(Lain kali barangkali). I will not be various kok (Saya nggak akan
macam-macam kok)”
Setelah Nadine pergi, Wakidjan menatap
Tukidjo dengan sebal. “Disturbing aja sih, Djo. Does the language belong
to your ancestor (Emang itu bahasa punya moyang lu)?”
Tukidjo
cari kalimat penutup. “Just itchy Djan, because you speak English as
delicious as your belly button.” (Gatel aja, Djan, soalnya kamu ngomong
Inggris seenak udelmu dewe).
Wakidjan cuman bisa merutuk dalam hati, “His name is also effort.” (Namanya juga usaha).